Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘lingkungan’

Sikap terhadap Kependudukan yang sering terabaikan

(MI) Ketika berlangsung Perang Dingin antara blok Amerika dan blok Uni Soviet setelah Perang Dunia II, banyak beredar cerita-cerita propaganda. Tentang kependudukan dan pangan, misalnya, di Cekoslovakia ada dongeng tentang bagaimana Tuhan menemukan Gorbachev sedang menangis menjadi-jadi. Ketika ditanya mengapa sedih, jawab Gorbachev, “Saya punya problem berat. Setiap saya menanam gandum di Siberia, tumbuhnya di Kanada.” Seorang lainnya sambil menangis menimpali, “Saya Novotny, Presiden Cekoslovakia….” Tuhan memotong kata-kata Novotny sambil mengulurkan tangan, “Sudahlah, tidak usah kau jelaskan, saya ikut prihatin….”
Dongeng itu disampaikan jurnalis terkenal Henry C Luce, mantan Pemimpin Redaksi Time dan Life, yang terekam dalam buku Voice of America Forum Lectures (1966). Pelajaran yang bisa dipetik dari dongeng itu, Tuhan prihatin karena telah memberikan wilayah luas kepada Uni Soviet untuk ditanami, dan penduduk yang kepintarannya memadai, tetapi mengapa bisa gagal? Pesan propaganda waktu itu, kesejahteraan suatu negara bergantung pada falsafah yang dianutnya dan lembaga-lembaga politik yang menjalankannya. Kesimpulannya, komunisme menyengsarakan rakyat.
Namun, situasi pangan dan kependudukan lebih rumit daripada sekadar persaingan antara kapitalisme dan komunisme, atau ideologi-ideologi serupa. Sekalipun, memang, kesejahteraan masyarakat ditentukan kebijakan negara mengenai struktur demografi yang mampu mengubah situasi sosial dan ekonomi masyarakatnya.

Pangan dan kemiskinan
Dunia pada waktu ini memiliki kemajuan teknologi dan masih memiliki cukup persediaan lahan dan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Namun, ratusan juta orang toh mengalami kelaparan atau menghadapi problem pangan karena tidak memiliki daya beli yang mencukupi. Kemiskinan menggerus kemampuan mereka untuk hidup layak.
Menurut buku Population, Food, Energy and the Environment (2000), terbitan Council for Asia-Europe Cooperation, pertumbuhan penduduk merupakan tantangan bagi jaminan pangan, yang pada dasarnya beda dari produksi pangan. Jaminan pangan berarti semua orang memiliki akses fisik dan ekonomi untuk bahan pangan yang mereka butuhkan agar mampu berfungsi normal.
Peningkatan taraf hidup seseorang dan kemampuan untuk menguasai hidupnya menciptakan kondisi sosial yang membantu mengurangi jumlah kelahiran. Sebaliknya, ketimpangan dalam hidup berkekurangan menciptakan kondisi yang memberi peluang bagi peningkatan angka kelahiran. Menurut teori transisi demografi Barat, perubahan angka kelahiran dan kematian bergantung pada perkembangan ekonomi. Negara-negara yang bertambah maju dan berkembang menjadi negara industri mengalami penurunan angka kematian maupun angka kelahiran. Akibatnya, pertumbuhan penduduk yang pesat berangsur berubah menjadi lambat dan selanjutnya ke zero growth, yakni ketika jumlah kematian sama besar dengan jumlah kelahiran. Itu pada akhirnya bisa mengarah kepada pengurangan jumlah penduduk, seperti yang dialami sejumlah negara sekarang ini. Karena kekurangan SDM, mereka terpaksa mengubah kebijakannya tentang KB. Sekarang mereka malahan menganjurkan rakyatnya untuk membesarkan jumlah anggota keluarga masing-masing.

Indonesia dituntut membuat pilihan
Hari Kependudukan Sedunia (World Population Day) 11 Juli telah berlalu tanpa gaung. Mungkin kita terlalu sibuk bersuka ria mengikuti Piala Dunia. Berhari-hari setelah itu terhanyut oleh berita-berita memikat tentang pornografi dengan kembang-kembangnya, korupsi yang berkelit-kelit, dan hukum yang dipermainkan beberapa gelintir penegaknya.
Sekalipun semua berita itu menyita perhatian, masalah kependudukan tetap dan selalu meminta perhatian. Bila salah urus, masalah ini bisa menimbulkan situasi gawat luar biasa. Tanda-tandanya mulai marak. Mungkin di antaranya akibat kesemrawutan demografi. Pencemaran dan perusakan lingkungan, termasuk pembabatan hutan, misalnya, erat kaitannya dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang kurang terawasi. Tanpa desain demografis, perkembangan itu mengarah ke melorotnya standar hidup mayoritas penduduk, status quo kemiskinan, penurunan mutu pendidikan formal dan informal, peningkatan kerusuhan/kekerasan, dan penyusutan lahan yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN memang berbeda-beda. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, kita masih jauh di bawah Singapura atau bahkan Malaysia. Saat ini mungkin masih setara dengan Thailand dan Filipina. Yang jelas, kita menang dalam jumlah penduduk, yang berarti kita memiliki problem lebih besar daripada negara-negara tetangga dalam tugas memenuhi kebutuhan penduduk akan sandang, papan, pangan serta pendidikan dan kesehatan–unsur-unsur yang amat diperlukan untuk gerak maju sebuah negara.
Satu bulan lagi kita merayakan HUT ke-65 kemerdekaan. Dalam kurun waktu sejak kemerdekaan sampai sekarang, penduduk kita telah melonjak hampir 3,5 kali lipat–dari yang diperkirakan 70 juta menjadi hampir 240 juta; terbesar ketiga di Asia setelah China dan India, dan terbesar keempat di dunia setelah dua negara tersebut ditambah Amerika Serikat. Bila laju pertumbuhan tetap seperti sekarang, 1,3% setahun, dalam setengah abad penduduk kita bisa menjadi dua kali yang sekarang. Angka-angka itu membuktikan pengelolaan kita atas masalah kependudukan perlu lebih dicermati, dengan konsekuensi membengkaknya dana yang dialokasikan. Semua itu demi jaminan keselarasan penghidupan masyarakat di masa depan. Kalau kita bicara soal KB, otonomi daerah yang telah menghidupkan sistem desentralisasi tentunya bisa lebih fokus ke sasaran. Kalau kita bicara tentang pangan, gizi, kesehatan dan pendidikan, implikasinya adalah tidak mungkin sebuah daerah bisa maju tanpa SDM yang bermutu, baik pikiran, jiwa maupun raganya.

Read Full Post »

Perubahan Iklim

Greenpeace demonstrates against the ADB-funded Mae Moh power plant.Aksi Greenpece di atas PLTU Mae Moh Thailand.

Besarkan Gambar 

Perubahan iklim global merupakan malapetaka yang akan datang! Kita telah mengetahui sebabnya – yaitu manusia yang terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi.

Kita sudah mengetahui  sebagian dari akibat pemanasan global ini – yaitu mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran, coral bleaching dan gelombang badai besar. Kita juga telah mengetahui siapa yang akan terkena dampak paling besar – Negara pesisir pantai, Negara kepulauan, dan daerah Negara yang kurang berkembang seperti Asia Tenggara.

 Selama bertahun-tahun kita telah terus menerus melepaskan karbondioksida ke atmosfir dengan menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batubara, gas bumi dan minyak bumi. Hal ini telah menyebabkan meningkatnya selimut alami dunia, yang menuju kearah meningkatnya suhu iklim dunia, dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi juga mematikan. Greenpeace percaya bahwa hanya dengan langkah pengurangan emisi gas rumah kaca yang sistematis dan radikal dapat mencegah perubahan iklim yang dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah kepada ekosistem dunia dan penduduk yang tinggal didalamnya.

Sebagai sebuah organisasi global berskala internasional, Greenpeace memusatkan perhatian kepada mempengaruhi kedua pihak yaitu masyarakat dan para pemegang keputusan atas bahaya dibalik penambangan dan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil. Sebagai organisasi regional, Greenpeace Asia Tenggara memusatkan perhatian sebagai saksi langsung atas akibat dari perubahan iklim global, dan meningkatkan kesadaran publik tentang masalah yang sedang berlangsung. Greenpeace SEA juga berusaha mengupayakan perubahan kebijakan penggunaan energi di Asia Tenggara di masa depan – yaitu beranjak dari ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil kearah sumber-sumber energi yang terbarukan, bersih dan berkelanjutan.

Taktik Kampanye Iklim dan Energi adalah mengkonfrontasi tantangan yang dimiliki industri berbahan bakar yang berasal dari fosil – terutama, pembangkit listrik pembakar-batubara dan penghasil energi berbasis-nuklir – sementara, di waktu yang sama menyuarakan dan mendorong solusi atas ketergantungan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil. Sebagai contoh, GreenpeaceSEA mempromosikan kebijakan dan proyek yang dapat menghasilkan energi murah berasal dari angin dan energi matahari, dan advokasi terhadap efisiensi energi alternatif. 

Asia Clean Energy Now

 

Read Full Post »

Apa yang Menyebabkan Zaman Es Berakhir?
Billy Audra B
(physorg.com)

INILAH.COM, Jakarta –Bumi secara teratur masuk ke sebuah zaman es setiap 100.000 tahun. Berakhirnya zaman es itu mengantar iklim hangat dan melahirkan peradaban manusia.

Kebanyakan ilmuwan mengatakan pemicu berakhirnya zaman es adalah pergeseran orbital yang menyebabkan lebih banyak sinar matahari yang jatuh di bagian utara bumi. Tapi bagaimana bagian selatan menyusul begitu cepat?

Tim peneliti melihat perubahan angin global sebagai jawabannya. Mereka mengusulkan suatu rantai peristiwa yang dimulai dengan mencairnya lapisan es besar di belahan bumi utara sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Lapisan es yang mencair itu mengatur ulang sabuk angin bumi, mendorong udara hangat dan air laut selatan dan menarik karbon dioksida dari laut ke atmosfer, dan memungkinkan planet lebih panas.

Hipotesis mereka memanfaatkan data iklim yang diawetkan dalam formasi gua, inti es kutub dan sedimen laut untuk menggambarkan bagaimana akhirnya bumi mencair.

“Makalah ini menarik beberapa studi terbaru dan menjelaskan bagaimana pemanasan di utara memicu perpindahan ke selatan dan berakhir zaman es. Akhirnya, kami memiliki gambaran yang jelas tentang telekoneksi global di sistem iklim bumi yang aktif dalam skala waktu yang panjang,” kata penulis bersama studi Bob Anderson, pakar geokimia di Columbia University Lamont-Doherty Earth Observatory (CULDEO).

“Ini hubungan sama yang membawa bumi dari zaman es terakhir yang aktif hari ini, dan mereka pasti akan memainkan peran dalam perubahan iklim di masa mendatang juga,” tambah Anderson.

Bumi secara teratur masuk ke sebuah zaman es setiap 100.000 tahun atau lebih, akibat orientasi ke arah pergeseran matahari dalam apa yang disebut siklus Milankovitch, kata rilis universitas.

Pada puncak zaman es terakhir, sekitar 20.000 tahun yang lalu, sebagian besar Eropa dan Asia terkubur di bawah lembaran tebal es, dan orbit bumi bergeser.

Sinar matahari musim panas mulai jatuh di belahan bumi utara, mencairkan lapisan es yang besar dan mengirim gunung es dan air segar ke Samudera Atlantik Utara

Read Full Post »

 

Soros: Peran Indonesia Besar Atasi Global Warming
George Soros memberikan keterangan pers seusai bertemu dengan Presiden SBY di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/5). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)

Jakarta (ANTARA News) – Penasihat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim George Soros mengatakan, peran Indonesia untuk mendorong mengatasi pemanasan global sangat besar.

Hal tersebut disampaikan Soros dalam keterangan pers di Kantor Presiden Jakarta Senin, usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya ditugaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk pantau langkah pencegahan global warming. Indonesia salah satu yang memimpin dan Presiden pegang peranan penting dengan menawarkan 26 persen kurangi emisi dan lebih dari itu bila ada asistensi,” katanya.

Ia menjelaskan kunjungannya ke Indonesia dan sejumlah negara menunjukkan dukungan yang besar tindaklanjut langkah pengurangan pemanasan global dan ia optimistis akan ada langkah subtansial mengenai hal tersebut.

Mengenai keinginan adanya bantuan bagi Indonesia dari dunia internasional agar bisa mengurangi emisi hingga 41 persen, Soros mengatakan itu adalah hal yang baik dan perlu diperhatikan.

“Melindungi hutan dan sekitarnya, Indonesia harus mengeluarkan sejumlah dana untuk itu. Itu akan memberikan kontribusi yang besar dengan pengurangan emisi dan memerlukan bantuan internasional. Bisa melalui pinjaman namun lebih baik melalui hibah,” katanya.

Sementara itu Staf khusus Presiden bidang luar negeri Dino Pati Djalal mengatakan pembicaraan keduanya mengenai proses setelah Kopenhagen.

“Dan presiden berharap di Meksiko nanti dihasilkan konsensus global baru Indonesia akan tetap aktor yang kontruktif,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima investor keuangan global George Soros sebagai penasihat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim.

Soros diterima Presiden di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin, pada pukul 14.30 WIB.

Presiden didampingi, antara lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta serta Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.

Dalam pengantarnya, Presiden menyampaikan harapan kepada Soros agar negara-negara di dunia dapat berbuat lebih untuk meningkatkan hasil dari konferensi di Copenhagen, Denmark, pada Desember 2009, agar dapat dirumuskan pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012.

Kepada Soros, Presiden juga menyampaikan agenda prioritas Indonesia untuk terus memerangi pembalakan hutan dan mengurangi laju pembabatan hutan.

Kepala Negara menyampaikan harapan agar Soros sebagai penasihat khusus PBB di bidang perubahan iklim dapat bekerjasama lebih erat dengan Indonesia.

Sejak Februari 2010, Soros ditunjuk sebagai penasehat khusus Sekjen PBB untuk perubahan iklim, guna memobilisasi pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim.
sumber: antaranews

Read Full Post »